Latar belakang
Anak – anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memilki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakeristiknya , yang membuat mereka lebih istimewa dari pada anak-anak normal pada umumnya . keadaan ini lah yang menuntut pemahaman terhadap anak berkebutuhan kusus. Keragaman anak berkebutuhan kusus terkadang menyulitkan guru dalam upaya mengenali jenis dan pemberian layanana pendidikan yang sesuai . namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai hakikat anak berkebutuhan khusus maka akandapat memenuhi kebutuhan anak yang sesuai.
Membicarakan anak-anak berkebutuhan khusus , sesungguhnya banyak sekali Variasi dan derajat kelainan. Ini mencakup anak – anak yang memiliki kelainan fisik ,mental-intektual ,social-emosional, maupun masalah akademik . Dalam makalah ini penulis akan memfokuskan dalam materi bahasan anak-anak tunanetra yang perlu mendapat pemahaman khusus dalam bidang psikologi.
Rumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah dalam latar belakang, maka penulis dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan.
1. Apa pengertian tunanetra dan jenis-jenisnya?
2. Apa penyebab tunanetra ?
3. Bagaimana perkembangan anak tunanetra dan dampaknya bagi lingkungan mereka ?
4. Apa saja kebutuhan dan layanan pendidikan yang diperlukan anak tunanetra?
Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah psikologi ABK dan juga agar menambah pengetahuan tentang ruang lingkup anak tunanetra bagi pembaca selain itu juga untuk menambah wawasan dan materi bagi mahasiswa
A. Pengertian Gangguan Penglihatan (ketunanetraan)
Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision” atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanerta.
Istilah tunanetra digunakan untuk orang yang mengalami gangguan penglihatan yang tergolong berat sampai yang benar-benar buta, yang diklasifikasikan menjadi kurang lihat (low vision/parfially sighted) dan buta. Bedasarkan ketajaman penglihatan, orang yang diklasifikasikan pada kurang lihat mempunyai ketajaman penglihatan antara 20/70 feet sampai 20/200 feet. Sedangkan yang tergolong buta memiliki ketajaman penglihatan 20/200 feet atau kurang; atau lebih dari 20/200 feet, tetapi lantang pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat.
Anak tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indra penglihatannya.
Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini diketahui dalam kondisi :
1. ketajaman penglihatannya kurang dari
ketajaman yang dimiliki orang awas.
2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak.
4. Terjadi kerusakan susunan saraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya.Untuk mengetahui ketunanetran dapat mengunakan tes Snellen Card. Anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21.Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Ø Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatannya tunanetra dapat dibedakan menjadi:
1. Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau 20/70 feet-20/200 feet, yang disebut kurang lihat.
2. Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang, yang disebut buta.
3. Tunanetra yang memiliki visus 0, atau yang disebut buta total (tolally blind).
Ø Berdasarkan saat terjadinya, tunanetra diklasifikasikan menjadi
1. tunanetra sebelum dan sejak lahir
2. tunanetra batita
3. tunanetra balita
4. tunanetra pada usia sekolah
5. tunanetra remaja
6. tunanetra dewasa.
Ø Berdasarkan adaptasi pendidikannya, tunanetra diklasifikasikan menjadi:
1. ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability).
2. ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability).
3. ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability).
Ø Bedasarkan ketajaman penglihatan, yaitu:
1. Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0). memiliki ketajaman penglihatan 20/200 feet atau kurang; atau lebih dari 20/200 feet, tetapi lantang pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat
2. Low Vision
Anak masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Orang yang diklasifikasikan pada kurang lihat mempunyai ketajaman penglihatan antara 20/70 feet sampai 20/200 feet. Sedangkan yang tergolong buta
B. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan.
Secara ilmiah ketunanetraan anak
dapat disebabkan oleh berbagai factor,
1. faktor dalam diri anak (internal)
yaitu faktor-faktor yang erat
hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan : faktor gen
(sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat
dan sebagainnya.
2. faktor dari luar anak
(eksternal).
yaitu
faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya :
kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan,
pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system sarafnya
rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan
yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus.
C. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanertaan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh.Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanerta cendrung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitf tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan (IQ), tetapi juga dengan kemampuan indra penglihatannya.
Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya (pada objek berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga), warna, dan dinamikanya. Melalui indra inilah sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal. Kalau aktivitas imitatif pada anak normal diperoleh dengan imitasi visual, maka pada anak tuna netra harus dirangsang melalui stimuli pendengaran disamping sisa penglihatan (bagi yang memilikinya) serta indera – indera yang lainnya.
Bagi anak tunanetra proses pencarian keseimbangan ini tentu tidak semudah orang awas, dikarenakan penggunaan teknik asimilasi maupun akomodasi sangat terkait erat dengan kemampuan penglihatan sebagai modalitas pengamatan terhadap objek atau hal-hal baru yang ada di lingkungannya. Karenanya tidak mudah menjelaskan secara utuh tentang bagaimana perkembangan kognitif anak tunanetra yang sebenarnya. Hal ini di karenakan dalam penjelasan tersebut tampak sekali bagaimana penting dan besarnya sumbangan pengamatan secara visual dalam perkembangan kognitif anak.
Lowenfeld (kirley, 1975) mengemukakan banyak hal tentang pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif, seperti persepsi ruang, synesthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, intelegensi, prestasi akademik, kemampuan bicara, dan juga kemampuan membaca. Me nurutnya juga bahwa IQ anak tunanetra berkisar antara 45-160, dengan distribusi12,5% memiliki IQ kurang dari 80, 37,5% dengan IQ diatas 120, dan 50% dengan IQ antara 80-120.
D. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cendrung lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya.Keterlambatan ini terjadi karna dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.
Pada anak tunanerta mungkin fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karna fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat. Gerakan anak tunanetra terlihat agak kaku dan kurang fleksibel, serta sering melakukan perilaku stereotif, seperti menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk tangan.
Bagi anak tunanetra, penguasaan perilaku psikomotorik dasar seperti berjalan, dan memegang benda sudah merupakan masalah yang tidak mudah untuk dikuasai dan dilaksanakan dengan baik, karena itu sudah barang tentu akan menjadi hambatan pula bagi penguasaan keterampilan motorik lebih lanjut yang bersifat kompleks untuk dapat berjalan saja seorang anak harus memiliki terlebih dahulu gerakan – gerakan psikomotorik yang mendasarinya seperti berguling, terlentang, telungkup, duduk, dan berdiri dengan bebas , baru kemudian berjalan yang semua ini bagi anak tunanetra bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Sebagai gambaran berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan.
1. Tahap Sebelum Berjalan
Anak tunanetra mengikuti pola perkembangan perilaku motorik yang sama dengan orang normal pada umumnya hanya factor kecepatannya yang berbeda sebagai akibat dari kurangnya rangsangan visual. Akibat ketunanetraannya tersebut, maka gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motorik kemudian (setelah dewasa).
2. Tahap Berjalan
Pada anak tunanetra dalam usia sekitar 15 bulan sangat kecil kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Ia akan berjalan pada usia yang lebih tua dari usia anak awas, hal ini dikarenakan kurangnya motivasi atau pendorong baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
E. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karma dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolah kehadirannya oleh linkungan keluarga atau masyarakat. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lain : kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan sosial. Selain itu, anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri,serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
F. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat.Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah.Anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan social. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, malu, keterbatasan anak untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan : penolakan, penghinaan, sikap tak acuh, mudah curiga terhadap orang lain, mudah tersinggung, dan ketergantungan pada orang lain.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan sosial anak tunanetra itu sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Bila perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan sosial anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya.
G. Dampak Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
Hasil penelitian para ahli mengenai pandanga dan sikap orang awas terhadap penyandang tunanetra adalah bahwa dalam pandangan orang awas,penyandang tunanetra memiliki beberapa karakteristik, baik yang sifatnya positif maupun negatif.
Penilaian Negatif :
1. Penyandang tunanetra pada umumnya memiliki sikap tidak berdaya.
2. Sifat ketergantungan.
3. Memiliki tingkat kemampuan rendah dalam orientasi waktu.
4. Tidak pernah merasakan kebahagiaan.
5. Memiliki sifat kepribadian yang penuh dengan frustasi-frustasi.
6. Kaku.
7. Resisten terhadap perubahan-perubahan.
8. Cenderung kaku dan cepat menarik tangan dari lawannya pada saat bersalaman.
9. Mudah mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar
yang ditunjukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak tepat.
Penilaian Positif :
1. Penyandang tunanetra lebih peka terhadap suara, perabaan, ingatan,
keterampilan dalam memainkan alat musik.
2. Ketertarikan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama.
Sebaliknya, para penyandang tunanetra sendiri beranggapan bahwa orang awas pada umumnya memiliki sikap sebagai berikut :
1. Pada umumnya orang awas tidak
tahu banyak tentang ‘orang buta’ dan kemudian akan terheran-heran ketika orang
tunanetra menunjukkan kemampuannya dalam beberapa hal.
2. Orang awas cenderung kasihan pada orang tunanetra dan pada saat yang sama
mereka berfikir bahwa mereka lebih berani dibandingkan dengan orang awas
lainnya.
Sikap orang tunanetra terhadap kebutaannya, menurut Bauman (Kirtley, 1975) bahwa keberhasilan dalam penyesuaian social dan ekonomi pada penyandang tunanetra berkaitan erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara emosional yang realistik terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan intelektual dan stabilitas psikologis.
Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya dibagi menjadi 5 kelompok :
1. Penerimaan secara realistik
terhadap anak dan ketunanetraannya.
2. Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak.
3. Overprotection atau perlindungan yag berlebihan.
4. Penolakan secara tertutup.
5. Penolakan secara terbuka.
Sikap para guru sebagai penyelenggara pendidikan, hasil penelitian Murphy (Kirtley, 1975) menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung mengesampingkan anak tunanetra, tetapi guru khusus (guru PLB) cenderung bersikap lebih positif terhadap anak tunanetra.
H. Kebutuhan dan Layanan Pendidikan bagi Tunanetra
Anak tunanetra sebagaimana anak lainnya, membutuhkan pendidikan untuk mengem-bangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena adanya gangguan penglihatan, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya, yang meliputi: latihan membaca dan menulis huruf Braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta latihan visual/fungsional penglihatan.
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu secara terpisah dari anak awas; dan integrasi atau terpadu dengan anak awas di sekolah biasa. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi, meputi: sekolah khusus (SLB-A), SDLB, dan kelas jauh/kelas kunjung. Bentuk-bentuk keterpaduan yang dapat diikuti oleh anak tunanetra yang mengikuti sistem integrasi, meliputi: kelas biasa dengan guru konsultan, kelas biasa dengan guru kunjung, kelas biasa dengan ruang-ruang sumber, dan kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra; pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran bagi anak awas, hanya dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi sehingga pesan atau materi pelajaran yang disampaikan dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,antara lain prinsip: individual, kekonkritan/pengalaman penginderaan, totalitas, dan aktivitas mandiri (selfactivity).
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi: media untuk menjelaskan konsep (alat peraga) dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran (alat bantu pembelajaran).
1. Alat peraga yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak tunarungu meliputi: objek atau situasi sebenarnya, benda asli yang diawetkan, tiruan /model (tiga dimensi dan dua dimensi), serta gambar( yang tidak diproyeksikan dan yang diproyeksikan ).
2. Alat bantu pembelajaran, antara lain meliputi: alat bantu menulis huruf Braille (reglet, pen dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf Braille (papan huruf dan optacon); alat bantu berhitung (cubaritma, abacus/sempoa, speech calculator), serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder.
Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diajukan kepada anak tunanetra tidak mengandung unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual; apabila menggunakan tes tertulis, soal hendaknya diberikan dalam huruf braille atau menggunakan reader (pembaca) apabila menggunakan huruf awas.
Daftar pustaka
Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi. (2007). “Psikologi Anak Luar Biasa”.Karakteristik dan Masalah Perkembangan Anak Tunanetra, 65-91. Bandung: PT. Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar